Thursday, January 31, 2008

Jogja nggak ada sampah ?

Dalam suatu pameran produk ekspor di Jakarta beberapa waktu lalu, seorang teman stand sebelah berkomentar :

“Mas, di Jogja kayaknya nggak ada sampah ya!”

“Maksudnya?” sedikit heran aku balik bertanya.

“Lha itu buktinya, hampir semua bahan bisa dijadiin handicraft dan dijual” begitu teman tadi memberi jawaban.

Geli juga mendengar jawaban dia. Tapi setelah aku pikir kayaknya beralasan juga komentar temen tadi. Sebab tempurung kelapa bisa dibuat asesoris, ditempel di mebel, dipake frame photo dan macem2 lainnya. Ada juga cangkang telur yang ditempel di vas bunga, frame photo, nampan, cangkir setelah difinishing tekstur pecahan cangkang telur tadi tampak artistic, begitupun juga dengan kulit salak.

Daun, bunga, biji tanaman yang dikeringkan kemudian dirangkai menjadi berpuluh mungkin beratus item handicraft yang unik.

Craftmanship orang2 Jogja sepertinya sudah terbukti dari banyaknya hasil karya handicraft yang tercipta. Entah sudah berapa juta item dan tonase barang tersebut terkirim keluar negeri, mulai dari mebel, home decoration, asesoris, tas dll. Dan sampai saat inipun masih berlangsung, dan sepertinya sampai kapanpun tidak akan berhenti. Sebab kreatifitas dan inovasi baru selalu bermunculan tak pernah mandeg.

Kesadaran masyarakat dunia sejak awal tahun 90an untuk kembali produk2 alamiah dan bisa di-recycle, ternyata memberi dampak positif dan memberi peluang pasar yang sangat besar terhadap produk2 handicraft tersebut. Pesaing utama dalam memperebutkan pasar tersebut berasal dari Malaysia, Vietnam, Philipina dan tentu saja China.

Khusus tentang natural fashion bags juga punya cerita tersendiri. Dulu mungkin kita mengenal manfaat pandan (seagrass) hanya untuk tikar yang mungkin ‘hanya’ berharga ribuan, tapi saat ini seagrass tersebut bisa berharga puluhan, ratusan ribu, bahkan jutaan untuk label sekelas Coach, untuk satu tasnya. Juga serat agel dari tanaman Gebang, mungkin masyarakat terutama sekitar hutan sebelumnya hanya mengenal manfaatnya untuk tali kayu bakar yang dia jual, tapi ketika dijadikan tenun, ataupun dirajut dipadu dengan bahan lain semisal benang nylon harganya juga bisa puluhan, ratusan ribu sampai jutaan untuk merk sekelas The Sak.

Sekali lagi, jangan salah label-label tersebut dikerjakan di Jogja, tenaga pengrajinnya ada dari Bantul, Sleman, Kulonprogo. Dan jangan salah juga para pengrajin yang mengerjakan Rattani-bags juga orang-orang yang pernah mengerjakan label2 tsb. Artinya mereka telah tahu dan terbiasa dengan detail dan kualitas sekelas label tsb. Selain label itupun mereka telah terbiasa untuk mengerjakan order yang terkirim untuk Amerika, Eropa, juga Jepang. Tahu sendiri standar kualitas mereka. Jadi ‘kelasnya’ bukan seperti tas2 yang dipajang di emperan Jalan Malioboro, Pasar Beringharjo Jogja ataupun yang di Pasar Sokawati Bali. Beda banget Bos !!

Walaupun sedikit lebih mahal dari Malioboro, sebab kata pepatah Perancis : Ono rego ono rupo , intinya beda kualitas tentunya beda harga donk, tapi masih jauuuuh dibawah harga butik2 di Jakarta. Nggak apa2, rejekine dhewe2.

Wednesday, January 30, 2008

Daun

Berapa banyak orang yang mendapatkan dan menggantungkan penghasilan dari daun. Ya bener, nggak salah : DAUN.

Terkadang kita tidak ‘menganggapnya’ terlebih yang telah gugur dari tangkai pohon. Bahkan kita menyebutnya sampah, mending kalo sekedar disapu, kemudian ditimbun, kumpulan daun ini bisa menjadi kompos, yang nantinya bermanfaat lagi menyuburkan bumi. Celakanya setelah disapu, dikumpulkan, kemudian dibakar! Kalo bisa protes mungkin si daun ini akan protes sebab dia akan merasa ‘kurang’ bermanfaat dibanding kalo dibiarkan membusuk menjadi kompos tadi.

Coba tanya ke Mami Ning yang telah merasakan ‘hasil’ dari jualan daun. Beliau akan menunjukkan berpuluh atau mungkin malah beratus macam daun yang bisa dimanfaatkan, dan lantas bisa dijadikan uang. Yang beliau tunjukkan mungkin lebih ke manfaat obat, itupun jumlahnya udah ratusan.

Nah, saya sendiri juga banyak memanfaatkan daun. Tanaman Gebang (seperti tanaman Palem Kipas), dari pucuk daunnya (janur) bisa dihasilkan serat agel, dan gajih sehingga tercipta tas yang fashionable seperti article Cantika, SRA-1, Brownies, juga ada Naomi, Rainbow, Vincentia yang berbahan daun pandan (seagrass) semuanya bisa dilihat di Rattani

Mami Ning dan aku mungkin sekedar contoh yang dapat memanfaatkan nilai lebih daun dengan ‘harga’ yang lumayan. Simak juga di pasar, berapa yang merasakan manfaat nilai daun. Sebut saja bayam, kangkung, sawi, salam, seledri dan seabreg yang lain. Pedagang ecerennya mungkin hanya mendapatkan recehan yang cukup untuk kehidupan sehariannya. Nah, gimana yang pengepulnya, dia bisa menghitung dari perkalian recehan tadi dengan volume kuintal atau ton yang dia jual.

Yang lebih ‘gila’ lagi daun bisa berharga jutaan per lembarnya. Anthurium daun, mulai dari Ant. Jenmanii, Ant. Gelombang Cinta, Ant. Keris harganya bener2 gila dan nggak masuk di akal, sebab satu pot indukan Jenmanii atau Gelombang Cinta bisa berharga ratusan juta bahkan ada yang tembus milyar. Sebelum Anthurium pun, Aglonema juga pernah seperti itu dimulai dari Pride of Sumatera-nya Greg Hambali yang memenangkan kontes bunga tingkat dunia di Belanda sebagai Juara 2, popularitas aglonema terus meroket sebelum kemudian digantikan Anthurium.

Bagaimana juga dengan daun muda, sorry bukan yang dalam artian konotatif lho!! Tanyakan ke orang Sunda berapa macam yang bisa dimanfaatkan untuk lalapan. Mungkin lalapan ini juga yang menjadikan orang Sunda biasanya terlihat lebih seger dibanding yang lain. Halah… malah beda bahasan he he

Makanya jangan remehkan daun. Satu lagi untuk bahan tafakur kita kepada Ilahi Rabbi, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam tentunya tidak dengan kesia-siaan. Kalo sesuatu saat ini belum terlihat manfaat bisa jadi mungkin karena ilmu dan pengetahuan kita belum mampu menjangkau nilai manfaatnya. Juga, kalo daun aja ada manfaat dan mempunyai arti, kenapa kita yang dikaruniai ilmu dan akal terkadang jauh dari nilai arti dan manfaat, malah terkadang merugikan yang lain. Naudzubillah…min dzalik !!

Thursday, January 24, 2008

Doaku pagi ini !!

“Yaa Allah rahmat-Mu lebih aku harapkan daripada amalku, dan ampunanMu lebih luas dibanding seluruh gelimang dosaku. Tuntunlah aku dengan rahmatMu, bersihkan hati dan jiwaku dengan ampunanMu, agar aku punya arti”.

Kalimat di atas dulu diajarkan Guruku agar senantiasa kita mampu mawas diri dan tidak jumawa dihadapan siapapun terlebih dihadapan Ilahi Rabbi. Sebab sering kita riya dan sombong dengan apa yang kita lakukan (astagfirullah … jika sampai saat inipun aku pribadi juga sering seperti itu). Kita seakan lupa bahwa semuanya karena rahmat-Nya, dan bukan karena kepandaian manusia. Bahkan ketika kita sudah menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukan masih juga kita meragukan kesungguhan Allah untuk memberi ampunan seberapapun besar dosa manusia.

Kalaupun belum mampu menjadi pribadi yang punya arti, belum mampu memberi dan melayani, belum mampu menebar rahmat, setidaknya jangan menjadi parasit yang merugikan bagi yang lain. Sesuatu yang tidak punya arti tentunya sama halnya tidak ada, dan sesuatu yang merugikan layaknya harus disingkirkan. Siapakah dan sebagai apakah kita?

Handmade

Busana, aksesoris, perhiasan buatan tangan (handmade), tidak hanya memiliki elemen estetis yang tinggi. Melainkan juga menyimpan gengsi, idealisme, serta keindahan lain yang tidak semuanya kasat mata.

Di jaman yang mendewakan teknologi, dimana suatu produk bisa dirancang, dibuat detail dengan mesin sehingga tercipta produk yang seragam dalam jumlah ribuan atau bahkan jutaan, maka kiranya suatu produk terlebih yang bersinggungan dengan dunia fashion yang dirancang dan dibuat dengan tangan manusia bisa menjadi sesuatu yang eksklusif. Berbagai produk yang diselesaikan dengan detail sentuhan tangan bukan hanya keragaman bentuk yang diperoleh, tetapi juga keunikan yang memancarkan idealisme, gengsi serta kecintaan pada craftsmanship yang telah ada dalam budaya manusia sejak dulu. Simak saja peninggalan-peninggalan sejarah baik berupa mahkota, gelang, kalung, keris yang semuanya hasil olahan tangan, semuanya menampilkan karya yang agung. Saat itu emang mereka para pemakai barang tsb menempati strata tertentu dalam social kemasyarakatannya, terutama keluarga para petinggi kerajaan.

Bagaimana dengan saat ini? Di Indonesia, apresiasi masyarakat terhadap hasil kreasi tangan emang belum sebesar orang luaran sono. Khusus tas berbahan natural (maklum kita jualannya tas, Bos !) ternyata emang pangsa terbesar juga keluar, sebab sebagian orang kita ketika tahu tas berbahan pandan atau enceng yang harganya terkadang ‘lumayan’ mereka malah komentar :

“Halah, tas gitu aja kok mahal, apa sih bagusnya! Lagian bahannya kan sering kita liat di sekitaran”

Tetapi bagi yang mampu memberi apresiasi positif mereka setidaknya akan bilang :

“Cakep bener tasnya, unik ya, masa bahan yang kayak gitu bisa dibuat tas yang fashionable gini”

Bisa jadi orang kedua ini mampu menghargai ‘riwayat’ tas tsb. Semisal pandan seagrass, hampir di semua pesisir pantai terlihat tanaman pandan yang daunnya berduri tsb, ataupun enceng gondok yang sebelum ketahuan manfaatnya seperti ada anjuran untuk dimusnahkan sebab emang tanaman enceng ini perkembangannya cukup cepat sehingga terkadang menutup luasan air semisal waduk Jatiluhur pun bisa tertutup hanya dalam hitungan bulan, juga ada tanaman Gebang (bentuknya seperti tanaman palm kipas) biasanya ada di hutan2, ternyata daun dan pucuk daunnya mampu menjadi serat agel dan gajih. Oleh orang2 kreatif tanaman bisa ini bisa menjadi sesuatu yang mempunyai nilai, dan dalam perkembangannya mampu menghidupi dan menjadi tumpuan hidup bagi banyak perajin di Tasikmalaya, Yogyakarta juga Banyuwangi. Gambaran hasil karya mereka coba diliat di http://rattanibags.blogspot.com/

Artinya ketika barang yang sepertinya tidak punya nilai setelah menjadi tas yang fashionable spt itu dan berharga ‘lebih’ mereka mengapresiasinya bukan karena nilai bahan mentahnya, tapi riwayat dan proses kreativitas yang melahirkan barang tsb juga turut menentukan nilai.

Bagi yang mengenal tas kreasi Emile-Maurice Hermes sejak tahun 1920-an sampai sekarang, tas dan aksesori berlabel Hermes, Gucci juga Virgin Rosa tetap mempertahankan proses pengerjaan dengan kreasi tangan, dan kita tahu berapa harganya ???

Merek2 seperti Kade-Spade, The Sak, Coach, beberapa article-nya juga menampilkan tas2 handmade, dan jangan salah juga ketika suatu saat Anda menjumpai tas2 rotan, enceng, rajut, dan pandan dengan label tsb mejeng di butik2 terkenal baik di Jakarta atau di luaran dengan harga yang wah!, bisa jadi itu awalnya hasil tangan2 terampil dari Bantul, Sentolo, Moyudan dan Nanggulan Yogyakarta, walaupun terkadang tidak semua proses finishing mereka yang mengerjakan. Ketika proses finishing mereka menunjuk supplier khusus, beberapa di Yogyakarta juga, untuk pengerjaannya dengan standar spesiafikasi dan kualiti yang mereka tetapkan dengan sangat ketat. Jadi jangan salah, Bung!

Bagaimana dengan Rattani-ku? Saat ini belum seperti itu, tapi aku mohon semua mau meng-amini bahwa suatu saat aku mampu seperti itu. Amiiiin ya rabbal ‘alamiin

Perjalananku 1

Ketika dalam pertemuan di rumah Pak Bamb 20 Januari kemarin Pak Harmanto menyampaikan tawaran peluang dari Parung Farm untuk mensuplai beras organic ataupun komoditas pertanian yang lain. Mendengar nama Parung Farm dan bisnis komoditas agrobisnis, ingatanku jadi mereview sebagian dari catatan perjalanan hidupku beberapa tahun yang lalu (waduh…nggaya rada mellow banget).

Sekitar tahun 2000-2003 aku emang menekuni agrobisnis di daerah Sukabumi. Barengan kakakku Danramil di wilayah sana yang lebih dulu nyemplung di bidang agrobisnis, aku bener2 belajar dari nol mulai dari teknik budidaya, manajemen produksi dan pemasarannya. Dalam perjalanannya ternyata bidang agrobisnis mengasyikkan juga, bahkan saat inipun terkadang aku masih rindu untuk bisa bersentuhan kembali dengan bidang tsb. Di dalamnya banyak hal yang bisa dipake untuk bertafakur atas kuasa Allah.

Awalnya emang cuma sekedar membantu kakak di kebunnya sendiri yang ditanami cabe, tomat, buncis, kapri juga sawi. Kemudian karena melihat hasil kerjaan kita bagus oleh salah satu pengusaha di sana kita diminta mengkoordinasi penanaman jagung hibrida sekitar 40 ha untuk mensuplai perusahaan pakan ternak di daerah Bogor. Selanjutnya kita juga diminta menanam cabe di lahan milik bank swasta, hasil produksinya juga menggembirakan. Gelinya saat itu aku jadinya lebih dikenal sebagai ‘tukang insinyur’ pertanian dibanding gelar kesarjanaanku yang Sarjana Sains.

Terakhir aku dikenalkan dengan seorang petinggi TNI tepatnya Kapuspen TNI saat itu, Marsda Graito Usodo. Beliau sempat heran juga ketika tahu dengan gelar kesarjanaanku tsb aku kerja di perusahaan boneka ekspor. Dan sempat menawari untuk kerja di Jakarta sesuai bidang ilmuku. Dengan referensi beliau sebenarnya aku dan istriku tinggal memilih pingin kerja dimana dan gaji berapa. Tapi karena dari awal aku nggak minat di Jakarta sehingga aku menolak (belagu yo sok ra butuh duit !!). Singkatnya, aku diminta mengelola agrobisnis sayuran dan bunga anthurium potong milik beliau.

Beliau orangnya sangat disiplin (maklum serdadu bo!). Banyak hal positif yang diajarkan ke aku termasuk ‘sama capeknya kenapa tidak jadi yang terbaik’. Tentang membaca dan belajar anakku juga kecipratan ‘virusnya’, sampai saat ini anakku menjadi’predator buku’ untuk menggantikan istilah ‘kutu buku’ sebab katanya istilah kutu terlalu kecil (kalo istilah ini yang ngajarin Helvi Tiana Rosa si pengarang muda itu). Pengetahuanku tentang budidaya dan manajemen produksi tanaman saat itu lumayan bertambah banyak (walaupun sepertinya masih kalah jauh dgn Mas Riza Solo), sebab beliau menyediakan banyak buku dan mengikutsertakan di pelatihan, salah satunya pelatihan kultur jaringan. Opo ora eman ilmune?. Sebenere ketika meninggalkan Sukabumi untuk balik ke Jogja ya eman ora eman. Tapi emang ada alasan yang mengharuskan aku sekeluarga untuk balik ke Jogja, biarpun saat itu Bu Graito sampe menangis menahan kepergian kami. Tapi bawa ilmu kan nggak berat, dan prinsipku kalo pun saat ini belum kepake lagi tapi ketika suatu saat ditularkan ke orang lain kan ‘nilainya’ lain. Jadi sampe saat ini aku nggak pernah bosan untuk belajar biarpun sesuatu yang baru sekalipun.

Pernah suatu kali pulang ke Cepu ngobrol dengan tetangga yang menanam semangka, maklum daerah Cepu termasuk penghasil semangka. Dia mengeluhkan tanaman semangkanya terlihat hijau subur tapi setelah berbunga rontok semua nggak jadi buah, ketahuan kan berapa kerugiannya. Ibarat pegawai PPL Pertanian (rada narsis!!) aku memberi komentar dan advis ke dia. Agak kaget dan surprise ketika mendengar penjelasanku sebab di kampung aku nggak pernah punya riwayat bertani. Setahunya dia aku juga bukan sarjana pertanian. Emang bukan kok !!

Intinya aku jelasin ke dia ada kesalahan dalam teknik pemupukan. Aku memberi analogi sama seperti orang makan bahwa sehari kita makan 3 kali itupun nggak nasi aja, harus ada sayurnya, lauknya, mungkin buahnya. Dan kebutuhan makan 3 porsi tsb tidak diberikan brek satu kali semisal pagi aja langsung 3 porsi. Maklum di daerahku biasanya kalo memupuk semangka sepertinya nggak pake takaran, yang penting banyak dan patokannya kalo tanaman hijau berarti pasti bagus. Padahal tanaman tidak hanya butuh nitrogen (urea dan ZA) tapi juga butuh phospor (TSP), kalium (KCl) yang ketiganya dikenal sebagai unsure makro utama, selebihnya tanaman juga butuh unsure mikro semisal seng, besi, kalsium dll. Penggunaan masing2 pupuk tsb bukan harus dalam jumlah banyak tetapi yang penting harus seimbang, termasuk pengaplikasiannya juga harus tepat. Kesalahan pemakaian bisa berakibat fatal bagi tanaman. Penjelasanku emang nggak sedetail itu mungkin malah mumet nanti dia. Pada prinsipnya tanaman butuh makan untuk tumbuh, berbunga kemudian berbuah. Ketika ada kekurang seimbangan di dalam proses tsb yang muncul seperti kasus yang dia ceritakan di atas. Maklum sebagian besar petani kita emang belum melek pengetahuan apalagi teknologi termasuk yang berhubungan langsung dengan pertanian yang dia geluti tiap hari. Sepertinya Mas Riza lebih paham kondisi petani kita, makanya usahanya untuk lebih memberdayakan petani biar petani kita lebih pinter, siiip tenan!!

Ketika tetanggaku tsb bisa mengerti penjelasanku dan kemudian di lain waktu memberi laporan positif hasil advisku tempo hari, betapa bahagianya diriku. Itulah nikmatnya berbagi.

Khusus tentang Parung Farm, sebelum aku intens di tempat Pak Graito aku sempat ditawari untuk ikut menjadi supervisor di sana khususnya untuk tanaman anggrek. Sekedar info Parung Farm emang lebih dikenal sebagai perusahaan agrobisnis yang memakai teknologi hidroponik dan aeroponik untuk sayuran. Tetapi di dalamnya dia juga mengembangkan anggrek (kebanyakan jenis dendrobium) mulai dari botolan (dia punya laboratorium kultur jaringan sendiri untuk pembiakan anggrek ini) sampai tanaman dewasa dengan wilayah pemasaran nggak cuma Jawa, tetapi juga Sumatra terbesar di Kalimantan.

Gimana temen2 TDA Joglo dengan tawaran Parung Farm kemarin, ada yang menyambut ?? ....to be continued!


Sunday, January 13, 2008

Yang TERBAIK !!!

Pagi ini dari selepas Shubuh dah mulai hujan rintik, emang udah musimnya ya... Tuhan telah memberikan yang terbaik untuk umat-Nya. Sebelum nyampe kantor selepas 'ternak teri' (nganter anak, nganter istri .. he he pinjem istilahe Pak Be Es TDA Joglo), pingin sedikit ketik2 :

Tiap waktu mungkin kita telah melakukan kerja ataupun aktifitas, tapi pertanyaannya apakah kita telah mengerjakan sesuatu dan menjadikannya yang terbaik. Tolok ukur menjadi yang terbaik tidak lantas harus menjadi juara dengan mengalahkan siapapun terlebih dengan cara apapun.

Untuk menjadi yang terbaik terkadang tidak perlu dengan susah payah, bisa dimulaimulai dengan hal-hal yang kecil. Semisal sesuatu bisa kita selesaikan hanya dengan satu jam kenapa harus ditunda menjadi dua tiga jam, terlebih sampai ditunda besok harinya. Cara lain juga jangan terbiasa mentolerir kesalahan sekecil apapun kesalahan tersebut. Kesalahan besar mestilah dimulai dari kesalahn kecil, artinya kalo kita membiasakan kesalahan kecil, maka kesalahan besar nantinya juga menjadi terbiasa. Karakter seperti ini juga salah satu yang membuat bangsa ini terpuruk. Saya yang saat ini main di industri kerajinan seperti terbiasa mendengar komentar :
"Harian kok minta cepet" (ketika dikejar deadline), atau juga "Borongan kok minta bagus" (ketika dikomplain kualitas).
Artinya seringkali mereka masih berpikiran kalo mau bagus kualitasnya pake sistem harian tapi jangan dikejar waktu, istilah Perancis-e 'sak tekane' tapi kalo mau cepet waktunya pake sistem borongan tapi juga jangan dituntut kualitasnya. Lha sak geleme to iki...!!

Menjadi yang terbaik memang memerlukan proses, tapi perlu dijadikan kultur dan kebiasaan pada diri sendiri, dan itu menjadi tanggung jawab moral pribadi. Untuk membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar tak perlu ikut-ikutan memprotes apalagi memaki kondisi bangsa dan para petingginya, sebab disadari ato tidak terkadang kita sendiri juga terlibat dalam menjadikan bangsa ini terpuruk. Salah satunya karakter yang dituliskan di atas tadi.

Sekali lagi sama capeknya kenapa tidak menjadi yang terbaik. Menjadi yang terbaik adalah keharusan. Kalaupun belum bisa menjadi yang terbaik, setidaknya berikan yang terbaik. Ditinjau dari sudut pandang apapun yang terbaik tentunya lebih bermanfaat dibanding yang biasa-biasa aja, apalagi dibanding yang tidak berguna, terlebih kalo parasit .... ampuun deh!!!

Friday, January 11, 2008

OPENMIND

Tersadar ato tidak sering kita memfilter pikiran dengan kesimpulan2 dan skenario atas berbagai informasi dan pengetahuan baru yang akan masuk, bahkan terkadang lebih dulu memberi adjusment sebelum kita tahu lengkap tentang informasi dan pengetahuan tsb. Bisa jadi karena kita telah merasa lebih tahu tentang informasi dan pengetahuan tsb karena mungkin kita merasa file teoritis di dalam harddisk otak kita lebih lengkap dibanding informasi dan pengetahuan baru tadi.

Emang terkadang susah rasanya mengalahkan ego untuk mau menerima informasi dan pengetahuan yang datang dari seorang tukang becak misalnya ato pun dari seorang pedagang pasar. Seringkali kita merasa lebih enjoy untuk membaca dan mendengarkan tumpukan teoritis dari berbagai pakar yang terkadang antar satu dengan teoritis yang lain bertubrukan, dan tidak semua bisa cocok dengan diri kita. Saya tidak mengatakan ini salah, sebab pengetahuan dan pengalaman para pakar tsb tentunya sudah teruji. Tapi rasanya akan lebih bijaksana juga kalo kita mau menerima informasi dan pengetahuan dari manapun datangnya.

Apapun dan darimanapun informasi dan pengetahuan yang datang cobalah kita tampung dan terima. Mungkin kita meyakini A, tapi tidak salah jika kita tahu tentang B, C, D dan seterusnya sebab bisa jadi tidak selamanya kita akan meyakini A. Sehingga ketika nantinya kita memilih A,B, ato C kita telah tahu dengan lengkap dan pas untuk diri kita. Dan ketika kita meyakini A tidak perlu menyalahkan B, C ato yang lain. Kebenaran mutlak milik Allah, kita hanya berhak 'yakin benar' untuk diri kita dan tidak berhak memberi penilaian mana benar dan salah terhadap orang lain. Ini perlu diingat sebab seringkali kita menyalahkan orang lain bukan karena kita telah tahu tentang kebenaran tetapi karena orang lain tsb TIDAK SAMA dengan kita. Ironis nggak?!

Ada gunanya juga untuk belajar berpikir dengan hati, tidak mudah emang, harus ada pembimbing dan 'guru' yang akan menuntun dan membimbing. Harddisk dalam otak kita sangatlah terbatas. Mungkin 2 giga, 1 giga, ato mungkin malah hanya beberapa mega saja, tetapi hati, tidak terukur. Semakin dilatih dan semakin tahu maka semakin luaslah space-nya.

Semakin hati dan pikiran kita terlatih, maka semakin arif kita menerima dan meyakini sesuatu dari luar. Dan secara otomatis juga filter baik dan buruk dalam diri kita akan bekerja. Sebab hakikatnya tidak ada yang salah dengan ciptaan Allah, yang menyebabkan adanya salah dan benar hanyalah manusia sebagai pelaku.

Mari, buka pikiran kita untuk berlatih menerima apapun dan darimanapun informasi dan pengetahuan, sebab menutup diri akan membuat kita menjadi kerdil. Silahkan memilih !!!