Friday, December 25, 2009

Terima Kasih (lagi) TDA !

Saat ini aku masih belum kelar berproses. Ukuran keberhasilan emang tidak harus selalu nominal finansial. Banyak yang patut disyukuri atas karunia-Nya melebihi rasa syukur adanya limpahan finansial misalnya.

Aku, salah satu dari ribuan member Komunitas entrepreneur bernama Komunitas Tangan Di Atas, merasa patut berterima kasih adanya komunitas positif ini. Lebih khusus kepada mentornya antara lain : Pak Roni (Founder TDA), Fauzi Rahmanto, Faif Yusuf, Mas Hadi Kuntoro, Pak Harmanto, Mamih Ning, Pak Bambang Triwoko, Pak Yusuf Iskandar, Mas Yoyok ... dan sederet mentor lain juga temen2 yang seperjuangan di TDA (kangen ... lama ngga ngumpul). Belum semuanya aku pernah ketemu, tapi inspirasi dan tularan ilmunya Insya Allah sebagian telah terserap dalam memori otakku. Semoga keberkahan Allah terlimpah kepada mereka yang begitu 'murah' dan 'obral' ilmu, bisa jadi sebagian masih tersimpan di harddisk otakku, belum semua ilmunya terpraktekkan.

Terlebih untuk sesepuh TDA Pak Haji Alay, aku masih berusaha meyakini bahwa 'seratus rupiah dari Anda jualan kerupuk sendiri Insya Allah masih lebih berkah daripada Anda jadi karyawan'. Kalimat ini masih aku pegang, dan kalimat ini pula dulu aku berani resign dari kantor. Yach ... KEBERKAHAN itu yang sampe saat ini pingin aku kejar. Dengan keberkahan itu pula aku berharap kelak mampu membawa amanah istri dan anak2 yang dititipkan Allah kepadaku untuk bersama ke syurga-Nya. Insya Allah ... amin yaa rabbal 'alamiin

Dengan semua proses yang telah aku jalani, Insya Allah banyak rasa syukur yang patut aku haturkan ke Ilahi Rabbi juga rasa SABAR, agar tidak hanya nikmat-Nya yang akan ditambah ketika aku syukur, tapi dengan bersabar aku berharap Allah akan bersamaku, akan menyertai setiap langkahku ....

Menjalani Hidup dengan TAUHID

Dicopy dari tulisan Ust Yusuf Mansur :

Perjalanan hidup ini sepenuhnya rahasia Allah. Kita hanya perlu tahu bahwa Allah akan mengatur yang terbaik, sudah mengatur yang terbaik, dan memberikan hanya yang terbaik. Jalani hidup dengan percaya kepada Allah, ibadah sepenuh hati, dan pasrah akan Kehendak-Nya. Sekuat mungkin lakukan apa yang diperintah, baik wajib maupun apa-apa yang menjadi sunnat, dan tinggalkan kemaksiatan dan dosa. Barangkali inilah dari sekian rahasia supaya hidup mengalir tenang, aman, dan banyak kemudahan.

Dan dalam hidup ini, ada saja kemudian peristiwa yang kurang mengenakkan terjadi di dalam hidup kita. Sehingga kemudian jadilah kita bahagian orang yang malah tambah dekat dengan Allah, atau sebaliknya, malah meratapi dan menyumpahi hidup ini. Ada orang-orang yang Allah bukakan jalan kedekatan dengan-Nya, justru karena beban hidup yang bukan kepalang berat dan besarnya. Tapi ada yang bertambah jauh dengan Allah sebab kesulitan hidupnya. Begitulah. Hidup ini isinya barangkali hanya ada dua pilihan; jalan lurus dan jalan sesat; jalan syukur atau jalan kufur; jalan ibadah atau jalan maksiat.

Ada seorang yang merasa ga bisa memberi apa-apa buat orang tuanya, lalu bergaul dengan para hedonis dan mengambil “manfaat semu” dari sana. Ia berikan orang tuanya dunia. Tapi ia korbankan kehormatan dengan menjadi pelacur misalnya; baik pelacur bener maupun yang samar. Namun ada juga mereka-mereka yang ketika tidak bisa memberikan apa-apa ke orang tuanya lalu ia tempuh jalan anak-anak saleh untuk orang tuanya. Tidak ada dunia yang dibawa ke orang tuanya, tapi kebaikan demi kebaikan mengalir untuknya. Dan ini juga kelak akan menghasilkan cahaya dunia untuk dia dan orang tuanya.

Ada keluarga dan anak istri yang disuapi dari harta haram. Bahagia hidup bergelimang dunia tanpa keluarga dan anak istrinya sadar disuapi dari rizki haram. Kelak, banyak sekali masalah di keluarga ini. Salah satunya bisa saja justru keluarga ini bisa kehilangan sang suami. Atau suami yang kehilangan anak istri, sebab satu dua kejadian.

Ada orang miskin yang mengambil hak-hak orang dan menempuh jalan judi sebagai jalan yang bisa mengubah kemiskinannya. Banyak orang miskin yang kemudian menjadikan tangannya sebagai wasilah meminta-minta. Tidak sedikit orang miskin yang menjadi mitra tangan-tangan kotor lalu menyambung hidupnya dengan rizki kotor. Sebab itulah hidup mereka ini tetap miskin dan bertambah miskin. Kalaupun kemudian mereka-mereka ini kaya, mereka akan tetap miskin. Allah akan buat hidupnya selalu kurang dan tak terpuaskan. Bahkan tidak sedikit mereka yang jadi miskin lagi setelah mencicipi kekayaan, dan bertambah lagi dengan satu predikat: hina. Sudah miskin, hina. Misalnya sebab ketangkep, dipenjara, menderita satu penyakit, dan lain sebagainya.

Sementara itu, kita menemukan banyak juga orang miskin yang bertahan menjaga perutnya dari barang-barang yang haram. Ia kejar kemiskinannya itu dengan mempergiat bangun malam dan shalat dhuha. Ia prihatinkan diri dengan berpuasa sunnah. Dan ia jalankan hidup ini dengan ridha dan ikhlas. Bisa jadi hidupnya tetap miskin. Tapi Allah hadirkan ketenangan dalam hidupnya, rumah tangganya langgeng, rizkinya sedikit tapi jadi daging dan enak dimakan. Tidak berubah jadi penyakit. Petaka jarang sekali hadir di kehidupannya. Dan banyak kemudahan di tengah-tengah kekurangan; anak sakit, dikasih cepat sehat. Tanpa berobat. Anak kurang biaya, tapi Allah kirimkan beasiswa dari tangan orang lain. Tak punya kendaraan, tapi Allah hilangkan keperluan berkendaraan; bersaudara dekat-dekat, berkantor tinggal jalan kaki, dan lain-lain. Beda dengan sebagian dari kita, yang punya kendaraan, tapi Allah terbangkan ke sana kemari dengan kendaraannya itu, yang akhirnya malah bertambah-tambah jauh dari keluarga dan Allah. Bahkan Allah tambahkan kendaraan dengan kendaraan yang lebih hebat dan lebih mahal, yang malah menambah jauh dirinya dengan keluarga dan Allah.

Ada yang kepengen punya usaha, lalu mencari modal dari selain Allah. Sementara ada yang menggiatkan bangun malam dan dhuha, serta bersedekah. Ya, saya tidak sedikit menerima konselingan gagal bayar kredit. Usahanya halal, cara-cara usahanya benar. Ternyata sayang, di proses kreditnya, ada kebohongan dan suap. Banyak data dimanipulasi supaya kredit bisa cair, dan tidak jarang melakukan praktik suap walo sekedar dengan menjanjikan sesuatu bagi officernya. Atau ada yang prosesnya benar, ikhtiarnya benar, usahanya halal, tapi tetap bangkrut juga. Selidik punya selidik, shalat wajibnya jadi keteteran, shalat-shalat sunnahnya malahan jadi hilang. Hubungan dengan orang tua jadi jauh, dengan adik-adik malah tak ada silaturahim, dengan tetangga menjadi tak lagi dekat. Jika demikian, maka dicabut usahanya oleh Allah adalah jauh lebih baik. Sadari lagi saja, minta ampun sama Allah, dan ikhtiar lagi yang benar. Insya Allah, Allah akan berkenan memberi lagi apa yang dicabut-Nya. Ada di antara mereka yang bertahan tidak mengapa tidak diberi modal lagi untuk pengembangan usaha. Mereka merasa cukup. Sehingga tidak perlu mereka ini merekayasa laporan keuangan dan aset. Ternyata kemudian Allah berikan keselamatan buat mereka dan usahanya berkembang juga dengan izin dan takdir-Nya.

Ada orang yang kepengen kerja. Ia tempuh jalan-jalan kotor. Ia siapkan jalan pelicin. Dan tidak jarang perbuatannya itu yang melahirkan orang-orang kotor yang tadinya bersih. Pekerjaan ia dapatkan, namun keberkahan Allah hilangkan. Punya duit lebih dari tabungan setiap kali kerja, lalu Allah giring dia untuk membeli kendaraan. Baru sebulan dipake itu kendaraan, sudah mengantarkan maut untuk keluarganya. Mobil ringsek, keluarga celaka, uang terbuang sia-sia. Sementara ada yang meminta kepada Allah pekerjaan. Ia bertahan untuk tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membuat Allah murka. Ia minta sama Allah lewat jalan ibadah. Ada yang belum Allah berikan pekerjaan, namun Allah tetap tanggung rizkinya dan hidupnya tetap mulia. Ga jadi hina sebab tak ada pekerjaan. Saya pun tidak sedikit menemukan yang begini ini. Tidak kerja, namun Allah menyediakan keperluan hidup baginya. Ia tidak menjadi beban buat orang lain, sebab ia tidak meminta. Banyaklah keanehan dari matematika dan mekanisme hidup ini.

Dan ada sebagian kawan yang bertanya, apakah selalu begitu ya? Bahwa yang berbuat baik mesti berkehidupan baik dan yang jahat akan berkehidupan buruk? Bisa ya bisa engga. Pertama, silahkan kembali ke pembahasan materi tentang ukuran anugerah dan masalah. Apakah betul rentetan masalah bener-bener disebut masalah? Bukan anugerah? Dan apakah benar rentetan keberuntungan disebut anugerah? Bukan justru masalah? Kacatama dan ukurannya pakai kacamata dan ukuran yang benar. Sekedar menyegarkan ingatan, anugerah itu adalah jika kita bisa dekat dan ingat sama Allah. Sungguhpun kita berada di situasi-situasi yang menurut orang, berkehidupan buruk. Orang mukmin akan menimati sekali kedekatan dengan Allah, meskipun dia ini cacat, miskin, hina dina dalam pandangan orang, dan serba kekurangan. Orang mukmin tidak akan bahagia bila dia dipandang bagus, mulia, terpandang, kaya, berkecukupan, namun Allah jauh darinya. Dan kemudian sebaliknya, disebut masalah itu adalah jika kita hidup jauh dari Allah dan lupa sama Allah. Ini justru masalah. Maka jika kemudian kita-kita ini hidup banyak uang, karir pekerjaan dan usaha juga sedang bagus-bagusnya, tidak akan ada guna juga jika bener-bener jauh dan lupa sama Allah. Hanya akan membawa petaka saja. Jika ukuran dan kacamatanya sudah benar, maka seseorang tidak akan salah menilai.

Kedua, bukan karena amal kita, lalu ditentukanlah hidup enak atau tidak enak. Bukan. Semata karena Kehendak Allah. Tapi orang mukmin akan senantiasa berhusnudzdzan, bahwa apapun yang ditetapkan Allah, ia akan ridha, ikhlas, sabar, syukur. Termasuk mereka-mereka yang bertaubat. Dia akan menerima segala kesusahan, dengan pengalihan kepada ampunan dan kasih sayangnya Allah (lihat-lihat pembahasan sebelumnya yang berkaitan dengan ini ya).
Kita tidak sendirian. Hidup ini ada yang punya. Bahkan kalau Yang Punya Hidup ini menginginkan kita menjadi sulit, ya tidak mengapa juga. Dengan keyakinan bahwa DIA Maha Mengatur dan Berkehendak, insya Allah kesulitan yang DIA beri, akan Allah ubah sendiri menjadi kemudahan.

Ya. Di dalam ilmu tauhid, mengenal Allah sebagai pusat segala kendali, memegang peranan penting untuk membangun ketenangan dan kebahagiaan. Mereka yang mengenal Allah, akan bersedia diatur, terserah kehendak-Nya. Dan tidak ada yang mengucapkan “ia bersedia diatur”, kecuali yang benar-benar ikut dan tunduk akan seruan-Nya. Sebab ga bisa seseorang mengatakan, “Saya mah insya Allah pasrah Mas”. Tapi kemudian ia tidak bergegas memenuhi panggilan Allah. Tidak pula ia bisa mengatakan, “Saya mengikuti seruan Allah”, bila kemudian hidupnya tiada ada ibadah yang serius.

Maka tanda-tanda seseorang itu bertuhan Allah adalah manakala ia bertakwa; Sekuat mungkin menjalankan perintah-Nya, dan sekuat mungkin meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Sering saya katakan dalam banyak forum. Keberhasilan seseorang menuju hidup enak, berhasil menggenggam dunia, dan hidup tanpa masalah, adalah dengan hanya meniti jalan takwa ini. Dan keberhasilan seseorang keluar dari kesulitannya, sungguh, apabila ia mampu meniti jalan ini. Barangkali jalan ini sempat ia tinggalkan, tapi kemudian ia balik lagi. Maka orang-orang seperti ini yang Allah akan anugerahkan jalan keluar.

“Wa may yattaqillaaha yaj’allahuu makhrajaa. Wayarzuqhuu min haitsu laa yahtasib. Wa may yatawakkal ‘alallaahi fahuwa hasbuhuu. Innallaah baalighu amrihii. Qad ja’alallaahu likulli syai-in qadraa. Sesiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan jadikan jalan-jalan keluar dari setiap kesulitannya dan menghadiahkannya dengan rizki yang tiada ia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang memasrahkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya. Allah meliputi semua urusan. Sungguh Allah telah jadikan segala sesuatu itu ada ukurannya”. (Qs. ath Thalaaq: 2-3).

Tuesday, December 22, 2009

Ibu ...

Rasanya tak akan pernah habis air mataku untuk ibuku. Dan aku sendiri tak pernah malu di hadapan siapapun aku menangis demi ibu. Dengan ibu banyak hal bisa menyebabkan aku cengeng. Tak pernah peduli apapun anggapan orang tentang kelelakian dengan tangisan. Bagiku tangis adalah hak juga bagian fitrah manusia, jadi tidak ada hubungannya dengan gender.

Hari Ibu, ketika sebagian masyarakat kita belum menganggapnya sesuatu yang penting, mampukah kita masing2 memberi makna khusus hari itu. Tak perlu diungkapkan ataupun dituliskan, tapi setidaknya apakah kita minimal ngeh bahwa dari rangkaian 365 hari dalam satu tahun, hari itu kita menyempatkan diri mengenang ibu (bagi yang telah almarhum), syukur bagi yang ibunya masih hidup sudahkah kita sekedar menelepon ketika mungkin kita jauh dengannya. Mengucap salam kepadanya sebagai ungkapan doa, menyapanya, mengucap terima kasih dan memohon ikhlas ridlonya, ataukah kita masing2 merasa terlalu sibuk dengan kehidupan dan pekerjaan masing2 sehingga merasa tidak ada sesuatu yang istimewa di hari itu untuk ibu?.


Aku sendiri merasa sangat bersyukur ketika 2 hari menjelang beliau dipanggil-Nya, aku masih menemainya dalam kondisi sehat. Maaf … aku menceritakannya kembali.


Ketika itu aku memaksa diri untuk ambil cuti kantor karena aku merasa harus ketemu dan sungkem ke Ibu. Entah, aku sendiri sejak merantau sekolah ke Jogja, tiap terbayang2 ibu aku merasa beliau sangat kangen, dan aku merasa perlu segera mengunjunginya. Sugestinya sedemikian kuat, sebab jika aku mencoba menundanya biasanya aku terkadang sakit, jatuh ataupun minimal perasaan gelisah. Perasaan itupun terulang. Dengan alasan sekalian menganter Salma liburan menjelang masuk kelas 1 SD aku memohon ijin ke De Yeyen untuk mengunjungi ibu. Singkatnya, Sabtu aku berangkat berdua dengan Salma rencananya pulang ke Jogja hari Selasa. Tapi hari Senin aku ditelepon kantor, Selasa diajak meeting mendadak. Aku pamit ke Ibu dan memastikan saat itu beliau sehat. Sakit yang beliau sering rasakan paling rematik di lututnya sehingga semingga sebelumnya ketika ponakanku mampir menyempatkan diri beliau pesen decker untuk menahan rasa rasikt di lutut khususnya ketika dipake sholat.


Hari Rabu sore selepas magrib dalam perjalanan sepulang jemput de Yeyen, ponakanku telepon mengabarkan aku harus pulang malam itu sebab Ibu MENINGGAL. Saat itu aku masih di depan Jogja Palace Hotel ? (Hotel Radisson). Kaget, jelas … sebab emang beliau ngga sakit. Setelahnya aku tahu beliau wafat dalam kondisi duduk di kursi, dalam keadaan berwudlu menjelang sholat magrib …. Subhanallah … innalillaahi wainna ilahi rojiuun. Doa beliau terkabul, beliau ingin meninggal gampang, tidak menyusahkan keluarga.


Terkadang bagiku dan istriku sepertinya beliau masih ada, semoga ini wujud kedekatan kami kepadanya. Aku masih jauh dari harapannya, tapi aku tetap yakin bahwa Allah akan mengabulkan harapan beliau untukku. Hutang terbesarku ke beliau adalah memberangkatkan haji. Makanya dalam beberapa tulisan blogku aku berharap pembaca mengamini doaku ini. Dan ketika doa itu terkabul para pembaca pun Insya Allah akan mendapatkan keberkahan dari-Nya.


Semasa hidupnya, Insya Allah beliau istiqomah sholat malam, membaca Surat Yasiin dan Arrahmaan, Sholat Dhuha. Insya Allah itu termasuk yang memudahkan Allah memanggilnya. Beliau bangun sekitar jam 3 pagi, ketika shubuh semuanya telah disiapkan minuman hangat, ada yang teh manis, kopi, susu, jahe. Ya … semuanya, bapak, anak, cucu, adik, ponakan sampe menantupun disiapkan.


Semuanya menjadi memori indah untuk kami. Menginspirasi langkah kami untuk mendedikasikan usaha kami demi beliau. Allah Maha Tahu, dan Allah Maha Mengabulkan segala doa hamba-Nya, doa ibuku untuk putra dan keturunannya. Dan hari itu aku merasa harus menambah porsi doaku untuk beliau walaupun aku yakin beliau telah mendapatkan tempat yang layak disisi-Nya sebab aku yakin beliau meninggal khusnul khotimah ….


Nah … saat ini ketika beliau sudah tiada, aku dan Salma, perhatian gantinya ke de Yeyen. Bangun tidur Salma telah memberikan hadiah kecil dibarengi pelukan dan ciuman ke Ibunya. De Yeyen sendiri terlalu sibuk nyiapin tugas audit ISO 9001 dan ISO 22000 untuk kantornya. Sarapan untuknya aku siapin, sekedar pingin memanjakan dan memberi perhatian lebih. Pingin mengajarkan ke anak, perlu sesuatu yang istimewa ke seorang Ibu, sebab dalam setiap langkahnya mereka telah memberikan keistimewaan ke kita, walaupun sebenarnya tak cukup tanggal 22 Desember aja ...

Friday, December 18, 2009

Ulang Tahun !?

Sejak sekian puluh tahun kelahiranku rasanya baru tahun ini begitu banyak orang yang peduli dengan tanggal ulang tahunku. Banyak isi doa di dalamnya. Aku hanya bisa mengamini. Sebagian lain bercanda, memperolok dll tapi aku yakin itu ekpresi sayang dan simpati mereka ke aku.

Selama ini sebenarnya aku sendiri ngga pernah secara khusus menganggap penting tanggal kelahiranku itu, selain sebagai tanda bertambahnya jumlah umur, artinya semakin mendekat aku pada kematian. Makanya terkadang lewat begitu saja, seperti tanggal2 yang lain dalam kalender satu tahun. Kadang aja aku merasa perlu ungkapan khusus dari istriku sekedar meyakinkan diri bahwa orang terdekat dalam kehidupanku masih peduli, itu aja !. Hadiah tak mesti berupa barang terlebih jika tanpa makna. Tapi entah tahun ini ketika semakin banyak yang peduli, aku semakin merasa perlu memikirkan makna.

Hanya semampuku sebab semakin digali akan semakin dalam yang perlu dimaknai. Kualitasku belum sedalam itu. Aku merasa kualitas hidupku belum sederet lurus dengan kuantitas umurku. Sekedar mengingat kewajibanku aja sementara ini masih banyak yang terlewat. Baik kewajiban kehambaanku kepada Allah maupun kewajiban yang berhubungan dengan istri, anak, orang tua, juga sahabat.
Malam ini aku mencoba bertafakur, syukur bisa menangis sekaligus tersenyum ketika mengingat kekuranganku dan rahmat-Nya. Agar aku semakin mampu memaknai kehidupanku. Tak perlu diterjemahkan di sini sebab ini hubungan khususku dengan Rabb-ku. Agar aku bener2 menjadi pribadi yang semakin punya arti. Sebab tanpa arti sama halnya dengan ketiadaan. Padahal Allah menciptakan makhluknya tanpa kesia-siaan.

Istriku, dia salah satu wanita yang menjadi anugrah terindah dalam hidupku selain ibuku. Kesabaran, kesetiaan, ketawadluaannya telah menginspirasiku untuk selalu menjadi pribadi yang semakin punya arti. Sebab sepertinya tak mudah menjadi istriku, tapi Insya Allah dia mampu, bahkan terkadang beban dan tanggung jawabnya melebihi kapasitas yang seharusnya dia terima.

Anak2ku, mereka dua bidadari kecil yang manis yang menginspirasiku untuk selalu menjadi ayah sekaligus sahabat dan teman main mereka. Agar mereka tetap selalu bangga punya ayah seperti aku apapun kondisiku.

De Yeyen, Salma dan Nasywa saat ini ayah hanya mampu memberi hati agar kalian menemukan hakikat rumah di sana melebihi rumah yang selama ini kalian impikan. Semoga kalian teduh dan nyaman dalam rengkuh sayangku. Agar aku mampu membawa kalian ke syurga sehingga di sanalah kalian akan memahami dan menemukan jawaban arah perjalanan kita selama ini.

Ayah – ibuku, yaa Allah ampuni segala dosanya, limpahi keberkahan dan kebahagiaan kepada mereka. Anugerahi tempat yang suci di sisi-Mu sebab beliau telah menghadap-Mu dalam wudlu suci-Mu. Limpahi aku umur, kesempatan dan rezki agar aku mampu membayar hutangku untuk memberangkatkan haji beliau yang belum terlaksana sampe Engkau memanggilnya.

Sebenarnya aku malu untuk meminta, tapi terlalu angkuh diriku jika aku tidak meminta-Mu. Yaa Allah ampuni segala dosa diriku dan keluargaku, ampunan-Mu itu akan membawaku nyaman menikmati limpahan rahmat kebahagiaan dunia akhiratku. Ikhlaskan diri dan keluargaku menerima segala ketentuan dan takdir-Mu agar kami mudah bersyukur dan bersabar atas kehendak-Mu.

Untuk temen dan sahabat2ku terima kasih atas doa kalian, apapun dan bagaimanapun bahasanya, ketulusan doa kalian akan dijawab Allah dengan kabaikan untukku dan keluargaku, juga untuk temen2 tersayangku semua ...

Wednesday, December 16, 2009

Gitu aja kok repot ...

Seringkali kali kita merepotkan diri pada sesuatu yang seharusnya ngga penting banget dibuat repot. Apalagi wanita, hal simpel pun kadang jadi rumit, entah sesuatu yang sebenarnya rumit, gimana nantinya ato malah kebalikannya ...

Beberapa hal menggelikan sehubungan dengan paragraf pertama di atas (pengalaman dgn istriku):
"Demi mendengar ibuku cerita, 'mas joko, dulu seneng poso n sholat malem lho, kalo ditanya jawabe 'pingin bojo ayu sholihah' (emang tiap ditanya Ibu biasanya aku jawab gitu ketika misal aku puasa sunnah tertentu, sekedar males jelasin maksud poso ini-itunya). Dia cerita ke aku sambil sedikit sewot, merasa dia disindir Ibu, merasa kurang ayu sholihah de el el ...

Kok repot ya, senengane memposisikan diri pada posisi negatif. Makanya aku nyante aja jawab, 'Kudune jenengan ki bersyukur, berarti wanita ayu sholihah yang aku mohonkan ke Allah yo jenengan iki', ... dah tak bela2in poso sholat aja dapetnya jenengan, apalagi misal tempo hari aku ngga poso sholat, entah gimana bentuknya ....' Demi mendengar kalimat kedua ini hadiahe cubitan diperut yang aku dapet, istriku sendiri tambah manyun, tapi Insya Allah dia paham apa yang aku maksud.

"Kedua, ketika masih nganggur di rumah belum bekerja sejak lulus kemudian aku nikahi. Kembali dia bersungut-sungut merasa disindir kakak ipar, 'Mahal2 di kuliahin kok akhire cuma nganggur di rmh, eman2'
Kembali dengan santai aku jawab, 'lha sik salah apanya mas ... komentar gitu?' , 'Jenengan kuliah ngga, sekarang nganggur ngga .... ya udah, bener to yang dikatakan mas ..., apanya yang salah ?!'
Tambah sewot dianya 'jenengan ki malah ora mbelani bojone !'

Paling2 aku hanya menghadiahi pelukan dan kecupan, biasanya itu cukup manjur membuatnya mengiyakan maksud sebenarnya yang aku ungkapkan. Sekali lagi gitu aja kok repot .... dan biasanya karena kita sendiri memberi porsi yang lebih terhadap sesuatu yang tidak seperlunya, ironisnya porsi lebih tersebut lebih bersudut pandang negatif .... repot lah

Lain lagi pengalaman dengan Ibu, ketika awal2 aku sampaikan tentang calon menantunya ini ke beliau, biasa orang Jawa menghitung hari kelahirannya dicocokkan dengan kelahirannku. Kesimpulannya Ibu agak kurang sreg, ada kekhawatiran masalah kelanggengan pernikahan kami dengan umur kami. Tapi versi hitungan Pakdheku berbeda kesimpulan, katanya ngga apa-apa. Saat itu Insya Allah aku tetep tawadlu ke Ibu, pelan2 aku sampaikan, 'Bu, aku hanya mohon ridlo jenengan, masalah rezki, umur, jodoh sudah ditentuin', dan alhamdulillah beliau merestui kami dengan ikhlas. Bahkan menantunya ini termasuk yang paling disayang ...
Lain waktu pas nyante dgn Ibu iseng aku nanya, 'Jenengan dulu dgn pak Dirjo (suami Ibu pertama yang meninggal) ya diitung2 gitu?' Dengan mantap beliau jawab,'Ya .. iyalah!'
Dengan santai juga dan tidak bermaksud menyakiti Ibu aku komentar,'Tapi kok yo Pak Dirjo meninggal ?' Seperti biasa Ibu menimpali, 'nDasmu !', sambil njenggung kepalaku. Tersenyum menang aku.

Sekali lagi kita seringkali antara sadar dan tak sadar merepotkan diri untuk sesuatu hal yang sehrusnya tidak penting banget dibuat repot. Yang ngga seharusnya repot aja dibuat repot, gimana yang semestinya repot ....

Sunday, December 13, 2009

Teman Jadul

Alhamdulillah ... ucapan syukur aku haturkan ke Ilahi Rabbi, lewat FB banyak tali silaturahim tersambung kembali, sebelumnya bener2 blank ... temen loss contact, harus melalui apa mencari n menghubunginya. Aku yakin ngga cuma aku yang merasakan seperti ini ....

Bukan untuk apa-apa apalagi bermaksud ngapa-ngapa setelah tersambung kembali dengan mereka, lebih khusus ke mereka2 yang pernah mengisi bagian ruang hati (ceile .. halah !). Sebab rasanya terlalu naif kalo kita mengorbankan keluarga, anak, istri atau suami hanya untuk sebuah keisengan karena mencoba merangkai kenangan masa lalu. Walaupun realita seperti ini juga banyak terjadi. Realita baik selalu juga bersanding dengan yang buruk, tergantung kita memilihnya. Walaupun godaan menuju buruk mesti selalu ada (syetan ngga pernah diem), tetapi Insya Allah nurani akan selalu setia membisikkan kebaikan.

Secara pribadi, aku ngga pernah mencoba mengubur masa lalu termasuk dengan 'mereka2' ini, apakah kenangan baik ato buruk. Sebab emang ngga bisa di-delete layaknya sebuah file komputer. Bedanya kita mau memberi perhatian lebih atau tidak. Aku lebih memilih mengingat sisi baiknya aja, enaknya jadi lebih terasa so sweeeet ... Ini mungkin sensitif, dan pesenku jangan coba2 bagi temen yang punya istri or suami posesif, bisa jadi runyam masalahnya.

Sisi baik dan buruk selalu bersandingan, mana yang akan kita pilih. Sori sementara pembaca menyudahi membaca tulisan ini, bisa jadi aku masih mereview kenangan masa lalu - sambil senyum2 geli - ketika masih berseragam biru-putih, abu2-putih .... dan ada kalanya saat itu belum mampu mengungkapkan apa yang dirasa dihati, sebab aku tidak pernah merasa menyesal berani mengungkapkan rasa hatiku salah satu dari dua adalah ke ibu anak2ku sekarang. Bagiku saat itu dan sekarang pun ngga penting yang sebenarnya 'mereka' rasakan ke aku. Kenangan itu sendiri lebih penting bagiku setidaknya bisa untuk bahan cerita termasuk kepada istri dan anakku sekarang .... dan semuanya menjadi begitu terasa indah ......

Sunday, October 25, 2009

Momentum Titik Balik

Insya Allah Kamis, 22 Oktober 2009 tempo hari aku telah menemukan momentum titik balik. Sementara belum aku share dulu sebab aku masih menunggu hasilnya sekitar satu dua bulan ke depan.

Kalo semuanya berjalan sesuai rencana, Subhanallah .... Allaahu Akbar ..... Aku masih meyakinkan diri bahwa ini bukan pilihan salah, semuanya tinggal mengikuti skenario yang digariskan oleh-Nya. Tidak ada yang kebetulan, sebab sebelum lahir pun semuanya telah ditulis-Nya. Kalo aku emang dipilih Allah menjadi bagian sejarah itu, sekali lagi aku hanya sanggup mengucap Subhanallah .... Allaahu Akbar ..... sekaligus beristighfar.

Sebuah gabungan teori Power of Giving, Quantum Ikhlas dan entah teori bisnis apa definisinya ... semoga memberi hasil sesuai rencana. Yaa ... Allah aku tetap mohon bimbinganmu untuk tetap bertawadlu kepada-Mu, dan tidak tuulul amal. Sebab Engkau telah menggariskan seberapa bagianku, dan seberapa yang bukan untukku ...

Aku mohon doa semuanya ......

Tuesday, October 6, 2009

Menjadi Anak Muda

Oleh Prie GS (Budayawan)


Tiga persoalan besar yang saya hadapi begitu menginjak remaja ialah : pertama saya yang terlahir sebagai anak keluarga miskin, kedua tubuh saya yang tak bisa tinggi dan ketiga adalah kedudukan saya sebagai rakyat sebuah negara yang penuh korupsi.

Saya akan mulai dari kemiskinan itu dengan kelaparan sebagai akibat fisiknya dan rendah diri sebagai akibat psikologisnya. Karena kelaparan itulah seluruh makanan yang saya makan saat itu, satu di antaranya adalah soto kantin sekolah, terekam rasanya hingga saat ini di lidah saya. Kabar baiknya ialah bahwa soto itu adalah soto terenak di dunia yang sampai saat ini sulit saya mencari gantinya. Kabar buruknya soto itu menjadi enak, pasti bukan cuma karena rasanya, tetapi pasti lebih karena kemiskinan saya. Kantin sekolah itu buka setiap hari, tapi adalah anugerah jika saya sanggup membelinya seminggu sekali. Maka hari ketika nasib baik itu datang, entah karena ditraktir teman, entah sekali waku mendapat uang saku, saya menikmati soto ini dengan rasa takut. Takut jika akhirnya suapan terakhir benar-benar tiba.

Setiap kunyahan sudah saya setarakan dengan masuk surga saking nikmatnya. Maka ketika sendokan terakhir tiba dan mangkok itu benar-benar tandas hingga ke kuahnya, saya seperti terlempar kembali ke neraka. Saya tak mungkin nambah sementara perut dan lidah masih begitu bernafsu. Efeknya sungguh dramatis; rasa itu tak mau hilang baik di lidah dan jiwa saya hingga hari ini. Saya kesulitan membuat penebusan karena seluruh soto di Indonesia yang saya cicipi, tak seenak soto kantin sekolah itu. Benarkah? Tentu tidak. Saat itu pasti karena saya memiliki seluruh modal untuk makan enak : yakni kelaparan dan derita.

Tetapi penderitaan perut itu baru setengah dari permainan, karena setengahnya lagi berisi persoalan yang tak kalah berat : yakni lapar jiwa. Ia bernama perasaan rendah diri yang parah. Cukup hanya dengan melihat orang lain hidup wajar saja, tak perlu mereka harus kaya raya, melainkan sekedar bisa makan normal tiga kali sehari, sudah mendatangkan ketakjuban luar biasa. Bagaimana mungkin ada kehidupan sebaik itu dan bagaimana mungkin ada perut yang bisa diisi makanan begitu tepat waktu.

Jika kepada pihak yang sekadar bisa makan saja kami sudah memiliki ketakjuban maka jangan tanya jika kami sedang memandang sebuah keluarga yang punya radio, punya sepeda dan malah punya warung makan. Tak pasti sebulan sekali keluarga kami bisa membeli sekadar nasi bungkus dari warung itu. Betapa beruntung seseorang yang dilahirkan sebagai anak pemiliknya. Salah seorang di antara anak itu adalah teman sekolah saya. Dan kepadanya saya memandangnya bak anak seorang raja.

Apa yang sedang berlangsung di dalam diri saya saat itu? Kelaparan perut yang telah menjalar menjadi kelaparan mental. Di dalam struktur hidup, saya adalah pihak yang langsung menempatkan diri di landasan. Jika hidup adalah sebuah piramida, saya segera menganggap bagian paling bawah adalah tempat saya. Kebahagiaan pihak lain adalah sebuah panggung pertunjukkan dengan saya cuma sanggup menjadi penontonnya. Saat itu, hidup cuma berisi penderitaan seluruhnya. Begitu penuh saya tertelan oleh perasaan menderita itu hingga melupakan sebuah sudut kemiskinan yang ternyata berisi soal-soal yang saya syukuri di hari ini. Apa itu? Kegemaran memandang segala sesuatu dengan totalitas penghayatan. Inilah kemampuan yang menjadi pilar penting hidup saya di hari ini, yang akan saya ceritakan nanti.Kedua adalah kenyataan saya sebagai laki-laki yang tubuhnya tetap saja sementara teman-teman lain terus meninggi. Fakta ini pada mulanya hanya melengkapi derita saya belaka. Tak peduli sesial apapun hidup orang lain, ia adalah orang yang beruntung jika sedikit saja lebih tinggi dari tubuh saya. Dan puncak penderitaan ini terjadi ketika saya jatuh cinta dan celakanya selalu dengan teman sekolah yang selalu lebih tinggi tubuhnya. Ada yang menyambut cinta saya cuma dengan tertawa ringan dan ada yang sebetulnya siap jadi pacar tapi lama-lama tertekan lalu tidak tahan dan memilih putus sebelum benar-benar nyambung.

Lengkap sudah modal derita saya waktu itu, tetapi janga lupa : lengkap juga modal totalitas saya menghayati sesuatu. Dua penderitaan itu adalah musibah besar sekaligus modal yang sama besarnya untuk membentuk hidup saya di hari ini yang akan saya ceritakan setelah saya melewati derita ketiga: yakni terlahir sebagai rakyat Indonesia.

Saya tumbuh di sebua Orde ketika negara ada dalam kemampuan semu. Pembangunan tumbuh cepat tanpa saya tahu bahwa itulah pembanguan yang dibayai oleh hutang. Dan setengah dari hutang itu ternyata cuma bocor di kantong-kantong pribadi yang membuat negara tumbuh dipenuhi ironi. Negara yang banyak hutang di satu sisi ini adalah juga negara yang hendak mengamankan diri dengan memagari diri dengan membuat tekanan di sekujur lini. Bahkan berimajinasi pun tak bebas lagi. Hasilnya kesenian di sekitar saya berlangsung kering dan setengah hati. Film-film buruk dan daya kreasi mampat sama sekali. Hidup sebagai orang miskin, tanpa tinggi badan memadai dan sebagai rakyat kecil di sebuah negara yang dipenuhi korupsi, adalah derita yang sempurna.

Tetapi di hari ini, tiga modal penderitaan itulah juga yang membuat saya merasa memiliki tiga modal hidup dengan kekuatan setara. Makin besar derita saya, makin besar modal hidup saya. Itulah kenapa Uni Soviet malah memiliki banyak pemenang Nobel di saat politik negara sedang begitu buruknya. Modal derita itu, jika benar arahnya, akan menjadi aset tak terkira. Saya tidak ingin mengatakan bahwa untuk memiliki aset, seseorang harus lebih dulu menderita. Tidak. Saya Cuma ingin menegaskan bahwa tidak ada yang harus ditakuti dari sebuah derita jika seseorang memang harus menghadapainya.

Kini saya merasa, penghayatan saya atas sebuah konteks menjadi baik sekali. Kemampuan membaca keadaan itu, setahu saya lalu menjadi refleks. Jika seorang sedang butuh didengar saya akan menjadi pendengar. Tapi jika mereka sedang memerlukan saya bicara, saya akan bicara. Dari membiasakan diri mendengar dan bicara sesuai konsteksnya ini saja, membuat hidup saya berubah. Begitu sebuah kemampuan membuahkan hasil, saya jadi bergairah mengembangkan kemampuan berikutnya. Begitulah memang watak manusia. Begitu penyulutnya tiba, ia akan terbakar dengan segera karena memang tersedia bahan bakar tak terkira jumlahnya di dalam jiwa kita.

Model derita itulah yang kemudian membakar saya. Dalam periode terbakar ini berubahlah segala peta hidup. Yang saya maksud perubahan itu tidak selalu harus buru-buru dikaitkan bahwa sekarang saya sudah kaya raya, misalnya (walau tanda-tanda untuk itu ada). Kekayaan material itu, bagi pribadi yang sudah terbakar hanya soal hitung-hitungan sederhana. Tetapi saya ingin mendahulukan kekayaan mental. Pada saat itulah, jika Anda mulai ada di tahapan ini, pribadi Anda akan mulai menjadi magnet. Tak perlu menjadi selebriti untuk punya magnet seperti ini, tetapi secara substansial Anda adalah seorang selebriti kehidupan walau wajah Anda tak pernah disorot televisi.

Lalu siapa yang harus mewaspadai derita yang pernah saya alami itu? Terutama adalah anak muda. Adalah keliru jika penderitaan mereka hanya bersumber dari kemiskinan, tinggi badan dan semacamnya. Penderitaan anak muda ternyata jauh melampaui batas-batas itu karena di dalam usia remajalah berlangsung apa yang disebut masa gelap orientasi. Di saat itulah seluruh soal bisa terlihat sebagai derita dan anak-anak muda itu harus diberi tahu, bahwa pandangan itu sungguh sangat menipu.

Semarang 29 Agustus 2009

Tuesday, September 29, 2009

Karena CINTA (Istri n Anak)

Ternyata begitu lama tulisan ini terputus n mandeg ngga update postingan. Asyik 'berproses' jadinya postingan terabaikan.

Salah satu pertimbangan aku resign dari kantor dulu, pingin lebih berkah. Waduh ... kok kayaknya sok bersih banget. Repotnya terkadang di masyarakat kita pingin bersih dibilang sok, bersikap jujur dibilang 'terlalu lurus' ... he he lurus kok dibilang terlalu, ato mungkin karena sudah begitu banyak yang bengkok sehingga yang lurus terlihat beda bahkan mungkin aneh, ngga umum ...

Sueeer ... terasa ngga nyaman ketika penyakit karyawan kumat, tiap ngumpul temen ngrasani bos, ngrasani kerjaan, merasa ngga imbang kerjaan n gajian. Implikasinya sering nyuri2 waktu n fasilitas untuk hal lain di luar kerjaan, entah komputer, internet, telepon dll.

Padahal semuanya kan nanti ada pertanggungjawaban. Ke Bos ato owner gampang aja, tokh mereka ngga tahu tiap detik n menitnya, tapi pertanggungjawaban ke Yaa Rabb sekecil apapun ngga akan ada yang terlewat. Nah.. ketika semuanya berusaha aku ganti dgn rintisan usahaku sendiri, Insya Allah pertanggungjawabanku hanya kepada Allah langsung.

Tak mudah menyampaikan alasan ini bahkan ke istri sekalipun yang sebenarnya saya belain. Reaksi pertama kaget ngga nyangka secepat itu, pinginnya 'amphibi' sampe semuanya 'siap'. Tapi pilhanku saat itu dah mantap dan Allah pun menyiapkan skenarionya begitu rapi n elegan. Ketika semua proses menuju lebih baik ini belum sepenuhnya mulus aku belum bisa banyak 'berjanji' lagi ke istri n anak. Kelak aku yakin mereka semuanya akan bener2 mengerti atas pilihanku itu, bahwa aku benar2 memilih demi mereka, setidaknya demi keberkahan mereka.

Hal lain, aku jadi lebih banyak punya waktu untuk mereka, walaupun sekarang malah jadi istriku yang lebih kurang punya waktu untuk kami, aku berusaha memaklumi sebagai pengorbanan dia demi cinta ke suami n anak juga ketika suaminya masih 'berproses' seperti saat ini.

Atas alasan keberkahan, kelonggaran waktu dan lainnya aku berusaha mewujudkan inilah bukti cintaku demi mereka. Dan akan terasa lebih lengkap jika wujud cintaku kepada mereka ini nantinya terimplikasi berupa materi yang lebih dibanding saat sebelum ini, semuanya hanyalah waktu aja ... aku yakin kok.

Luv u all, de Yeyen, Salma, n Nasywa semoga fantasi tentang rumah kita segera terwujud ...