Friday, September 26, 2008

Ilmu Rejeki

Pendasaran ilmu rejeki bs banyak banget. Teori matematika ekonomi aja ga cukup, sebab seringkali hitungannya ga mesti 1+1=2 dan 2-1=1.

Aku ga pingin menjelaskan dasaran teoria mana yang aku pake. Aku hanya mencoba menceritakan ilustrasi di keluargaku. Bapak-Ibu adalah seorang wiraswasta di kampung. Sebelum aku lahir sampe aku umur setahun sepertinya keluargaku termasuk pedagang sukses di kampung terlihat dari photo2 kenangan keluargaku, sebelum kemudian bangkrut oleh fitnah 'pesugihan'. Kemudian Bapak-Ibu buka warung makan di deket stasiun, ini juga lumayan laris sebelum kemudian Bapak ganti usaha bengkel sepeda (sampe sekarang) dan Ibu sempat jual beli gabah, jagung untuk di setor ke gudang (untuk yang ini aku SMP sempat terlibat).

Selama perjalanan perekonomian keluargaku, tanggungan Bapak-Ibu pernah sampe sekitar 15-an orang di rmh. Disamping 6 anak, Bpk-ibu msh menanggung adik2 bapak karena ditinggal wafat mbah Putri, anak2 Padhe, anak2 Budhe termasuk beberapa kuli Ibu. Tanggungannya ga cuma makan pakaian tapi juga sekolah. Sampe aku SMA selalu saja ada yang keluar masuk di keluargaku. Sepintas Ibu orangnya galak, tapi hampir semuanya krasan dgn sifat ngemong ibu. Entah sudah berapa yang lahir dan meninggal di rumah Bapak-ibuku.

Ketika kemudian satu persatu 'mentas' ataupun meninggal, terakhir di rumahku masih ada Pakdhe kakak Bapak, dan adikku plus keluarganya. Logika matematikanya, ketika tanggungan berkurang tentunya ada penghasilan yang tersisa. Perbandingannya, penghasilan Bapak-Ibu saat 'ngopeni' 15-an sampe 10-an orang tentunya akan 'turah2' jika hanya dipake untuk 5 orang. Tapi sepertinya rumusan itu kok ga berlaku. Ketika 15-an orang ga pernah terasa kurang2, tapi ketika 'hanya' 5 orang kok yo ora turah2.

Yang saya salut dengan Ibuku adalah didikan laku prihatin dan jiwa sosialnya. Tak pernah dendam walaupun didholimi termasuk ketika difitnah 'pesugihan' oleh saudara Ibu sendiri karena persaingan bisnis. Puasa sunnah dan sholat malam adalah rutinitas Ibu hingga mungkin itulah salah satu 'kunci' kecukupan Ibu ngemong segitu banyak tanggungan, termasuk kunci beliau dimudahkan wafatnya dalam kondisi BERWUDLU dan duduk di kursi tanpa didahului sakit sebelumnya. Subhanallah....(maaf ketika menulis kalimat ini tak terasa aku meneteskan airmata). Masih banyak hutangku kepadanya yang blm terbayar termasuk memberangkatkan haji beliau.

Dan bapakku adalah pekerja keras yang ikhlas. Ketika aku dan yang lain di sekolahkan, termasuk aku dan kakakku sampe sarjana bapak ga pernah menuntut aku harus kerja sesuai bidang ilmuku, menurut beliau kewaaajibn orang tua adalah mendidik dan mencarikan ilmu, selebihnya adalah tanggung jawab masing2 untuk dipake ilmu itu. Salah satu yang mempercepat aku resign dari perusahaan adalah dorongan Bapak untuk segera buka usaha sendiri, setelah sebelumnya aku menunda karena 'ngemong' atine istriku dan keluarga mertuaku.

Sekali lagi, tentang rejeki menurutku lebih penting mendasari ilmu dalam pencarian dan penjemputannya. Sebab semuanya sudah dijatah oleh-Nya. Tinggal kita mau mengambilnya pake sendok dan gelas, sekop dan keranjang, pake motor, mobil atau truk sekalian ini yang akan membedakan kita dapetnya sedikit atau banyak. Dan dengan ilmu tadi kita akn dapet yang berkah atau malah mudlorot.

KAMU SALAH ! sebab TIDAK SAMA DENGAN AKU

Berpolemik, berbantahan, beradu argumen atau pun berselisih paham adalah fitrah manusia. Semuanya biasanya didasarkan atas argumen dan sudut pandang masing2. Makanya dari awal sebenarnya agama (red; Islam) telah memberi rambu bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat. Masalahnya mana yang bisa dikategorikan rahmat dan tidak.

Mungkin ada baiknya kita kembali mengingat cerita tentang orang buta yang mencoba mendeskripsikan gajah hanya berdasar dari apa yang dia pegang dan raba. Yang satu menyatakan gajah seperti batang pohon, satunya seperti kipas yang lebar, lainnya menyatakan seperti batang sapu. Apakah masing2 mereka salah ? Tentu tidak!. Mereka akan salah ketika mereka menyalahkan orang lain, dan hanya meyakini kebenaran yang dia deskripsikan. Padahal bagi orang lain yang kebetulan 'melek' matanya tentunya deskripsi tentang gajah tidak sekedar yang masing2 mereka deskripsikan di atas.

Hikmah dari cerita pengantar tidur di atas, jangan2 selama ini kita berlaku dan bertindak layaknya orang2 buta yang sok 'melek' tadi. Jelasnya kita MENYALAHKAN orang lain BUKAN karena telah tahu kebenarannya, tapi karena orang lain tersebut TIDAK SAMA dengan diri kita, dengan komunitas kita, dengan kelompok kita.

Saya sering diajarkan ketika kita meyakini A, kemudian ada orang lain yang meyakini B, C, atau D. Tidak ada salahnya kita mencoba mempelajari dan memahami B, C dan D tadi, biarpun emang kita bener2 harus telah meyakini tentang A. Itu artinya kita telah menjadi orang yang 'lebih' sebab setidaknya kita memahami A, B, C, dan D. Dengan begitu Insya Allah akan lebih bijak. Sebab bisa jadi antara A, B, C dan D tadi ternyata secara hakikat di mata Allah SALAH. Hakikat kebenaran MUTLAK hanya milik Allah, bukan wewenang kita menilai, manghakimi atau mem-fatwa orang lain.

Keberagaman, termasuk keberagaman berpendapat harusnya kita pahami sebagai wujud kebesaran Allah. Titipan kebesaran-Nya tsb bisa kita 'pinjam' dengan sikap mampu menerima setiap perbedaan, terlebih perbedaan yang kita sebenarnya secara ilmu belum mampu mencari dan memahami jawaban dasar dan argumentasinya. Penyakit manusia seringkali SOK TAHU, dan SOK BENER.

Dengan sikap seperti itu, makanya saya bisa mengamini ketika ada yang menyampaikan 'fatwa' :"DILARANG/TIDAK DIBENARKAN secara agama bagi seorang lelaki yang akan mengawini wanita SEKAMPUNG-nya", sebab saya telah dijelaskan dasar dan 'dalilnya'. Penasaran....?? monggo aja !