Friday, December 18, 2009

Ulang Tahun !?

Sejak sekian puluh tahun kelahiranku rasanya baru tahun ini begitu banyak orang yang peduli dengan tanggal ulang tahunku. Banyak isi doa di dalamnya. Aku hanya bisa mengamini. Sebagian lain bercanda, memperolok dll tapi aku yakin itu ekpresi sayang dan simpati mereka ke aku.

Selama ini sebenarnya aku sendiri ngga pernah secara khusus menganggap penting tanggal kelahiranku itu, selain sebagai tanda bertambahnya jumlah umur, artinya semakin mendekat aku pada kematian. Makanya terkadang lewat begitu saja, seperti tanggal2 yang lain dalam kalender satu tahun. Kadang aja aku merasa perlu ungkapan khusus dari istriku sekedar meyakinkan diri bahwa orang terdekat dalam kehidupanku masih peduli, itu aja !. Hadiah tak mesti berupa barang terlebih jika tanpa makna. Tapi entah tahun ini ketika semakin banyak yang peduli, aku semakin merasa perlu memikirkan makna.

Hanya semampuku sebab semakin digali akan semakin dalam yang perlu dimaknai. Kualitasku belum sedalam itu. Aku merasa kualitas hidupku belum sederet lurus dengan kuantitas umurku. Sekedar mengingat kewajibanku aja sementara ini masih banyak yang terlewat. Baik kewajiban kehambaanku kepada Allah maupun kewajiban yang berhubungan dengan istri, anak, orang tua, juga sahabat.
Malam ini aku mencoba bertafakur, syukur bisa menangis sekaligus tersenyum ketika mengingat kekuranganku dan rahmat-Nya. Agar aku semakin mampu memaknai kehidupanku. Tak perlu diterjemahkan di sini sebab ini hubungan khususku dengan Rabb-ku. Agar aku bener2 menjadi pribadi yang semakin punya arti. Sebab tanpa arti sama halnya dengan ketiadaan. Padahal Allah menciptakan makhluknya tanpa kesia-siaan.

Istriku, dia salah satu wanita yang menjadi anugrah terindah dalam hidupku selain ibuku. Kesabaran, kesetiaan, ketawadluaannya telah menginspirasiku untuk selalu menjadi pribadi yang semakin punya arti. Sebab sepertinya tak mudah menjadi istriku, tapi Insya Allah dia mampu, bahkan terkadang beban dan tanggung jawabnya melebihi kapasitas yang seharusnya dia terima.

Anak2ku, mereka dua bidadari kecil yang manis yang menginspirasiku untuk selalu menjadi ayah sekaligus sahabat dan teman main mereka. Agar mereka tetap selalu bangga punya ayah seperti aku apapun kondisiku.

De Yeyen, Salma dan Nasywa saat ini ayah hanya mampu memberi hati agar kalian menemukan hakikat rumah di sana melebihi rumah yang selama ini kalian impikan. Semoga kalian teduh dan nyaman dalam rengkuh sayangku. Agar aku mampu membawa kalian ke syurga sehingga di sanalah kalian akan memahami dan menemukan jawaban arah perjalanan kita selama ini.

Ayah – ibuku, yaa Allah ampuni segala dosanya, limpahi keberkahan dan kebahagiaan kepada mereka. Anugerahi tempat yang suci di sisi-Mu sebab beliau telah menghadap-Mu dalam wudlu suci-Mu. Limpahi aku umur, kesempatan dan rezki agar aku mampu membayar hutangku untuk memberangkatkan haji beliau yang belum terlaksana sampe Engkau memanggilnya.

Sebenarnya aku malu untuk meminta, tapi terlalu angkuh diriku jika aku tidak meminta-Mu. Yaa Allah ampuni segala dosa diriku dan keluargaku, ampunan-Mu itu akan membawaku nyaman menikmati limpahan rahmat kebahagiaan dunia akhiratku. Ikhlaskan diri dan keluargaku menerima segala ketentuan dan takdir-Mu agar kami mudah bersyukur dan bersabar atas kehendak-Mu.

Untuk temen dan sahabat2ku terima kasih atas doa kalian, apapun dan bagaimanapun bahasanya, ketulusan doa kalian akan dijawab Allah dengan kabaikan untukku dan keluargaku, juga untuk temen2 tersayangku semua ...

Wednesday, December 16, 2009

Gitu aja kok repot ...

Seringkali kali kita merepotkan diri pada sesuatu yang seharusnya ngga penting banget dibuat repot. Apalagi wanita, hal simpel pun kadang jadi rumit, entah sesuatu yang sebenarnya rumit, gimana nantinya ato malah kebalikannya ...

Beberapa hal menggelikan sehubungan dengan paragraf pertama di atas (pengalaman dgn istriku):
"Demi mendengar ibuku cerita, 'mas joko, dulu seneng poso n sholat malem lho, kalo ditanya jawabe 'pingin bojo ayu sholihah' (emang tiap ditanya Ibu biasanya aku jawab gitu ketika misal aku puasa sunnah tertentu, sekedar males jelasin maksud poso ini-itunya). Dia cerita ke aku sambil sedikit sewot, merasa dia disindir Ibu, merasa kurang ayu sholihah de el el ...

Kok repot ya, senengane memposisikan diri pada posisi negatif. Makanya aku nyante aja jawab, 'Kudune jenengan ki bersyukur, berarti wanita ayu sholihah yang aku mohonkan ke Allah yo jenengan iki', ... dah tak bela2in poso sholat aja dapetnya jenengan, apalagi misal tempo hari aku ngga poso sholat, entah gimana bentuknya ....' Demi mendengar kalimat kedua ini hadiahe cubitan diperut yang aku dapet, istriku sendiri tambah manyun, tapi Insya Allah dia paham apa yang aku maksud.

"Kedua, ketika masih nganggur di rumah belum bekerja sejak lulus kemudian aku nikahi. Kembali dia bersungut-sungut merasa disindir kakak ipar, 'Mahal2 di kuliahin kok akhire cuma nganggur di rmh, eman2'
Kembali dengan santai aku jawab, 'lha sik salah apanya mas ... komentar gitu?' , 'Jenengan kuliah ngga, sekarang nganggur ngga .... ya udah, bener to yang dikatakan mas ..., apanya yang salah ?!'
Tambah sewot dianya 'jenengan ki malah ora mbelani bojone !'

Paling2 aku hanya menghadiahi pelukan dan kecupan, biasanya itu cukup manjur membuatnya mengiyakan maksud sebenarnya yang aku ungkapkan. Sekali lagi gitu aja kok repot .... dan biasanya karena kita sendiri memberi porsi yang lebih terhadap sesuatu yang tidak seperlunya, ironisnya porsi lebih tersebut lebih bersudut pandang negatif .... repot lah

Lain lagi pengalaman dengan Ibu, ketika awal2 aku sampaikan tentang calon menantunya ini ke beliau, biasa orang Jawa menghitung hari kelahirannya dicocokkan dengan kelahirannku. Kesimpulannya Ibu agak kurang sreg, ada kekhawatiran masalah kelanggengan pernikahan kami dengan umur kami. Tapi versi hitungan Pakdheku berbeda kesimpulan, katanya ngga apa-apa. Saat itu Insya Allah aku tetep tawadlu ke Ibu, pelan2 aku sampaikan, 'Bu, aku hanya mohon ridlo jenengan, masalah rezki, umur, jodoh sudah ditentuin', dan alhamdulillah beliau merestui kami dengan ikhlas. Bahkan menantunya ini termasuk yang paling disayang ...
Lain waktu pas nyante dgn Ibu iseng aku nanya, 'Jenengan dulu dgn pak Dirjo (suami Ibu pertama yang meninggal) ya diitung2 gitu?' Dengan mantap beliau jawab,'Ya .. iyalah!'
Dengan santai juga dan tidak bermaksud menyakiti Ibu aku komentar,'Tapi kok yo Pak Dirjo meninggal ?' Seperti biasa Ibu menimpali, 'nDasmu !', sambil njenggung kepalaku. Tersenyum menang aku.

Sekali lagi kita seringkali antara sadar dan tak sadar merepotkan diri untuk sesuatu hal yang sehrusnya tidak penting banget dibuat repot. Yang ngga seharusnya repot aja dibuat repot, gimana yang semestinya repot ....

Sunday, December 13, 2009

Teman Jadul

Alhamdulillah ... ucapan syukur aku haturkan ke Ilahi Rabbi, lewat FB banyak tali silaturahim tersambung kembali, sebelumnya bener2 blank ... temen loss contact, harus melalui apa mencari n menghubunginya. Aku yakin ngga cuma aku yang merasakan seperti ini ....

Bukan untuk apa-apa apalagi bermaksud ngapa-ngapa setelah tersambung kembali dengan mereka, lebih khusus ke mereka2 yang pernah mengisi bagian ruang hati (ceile .. halah !). Sebab rasanya terlalu naif kalo kita mengorbankan keluarga, anak, istri atau suami hanya untuk sebuah keisengan karena mencoba merangkai kenangan masa lalu. Walaupun realita seperti ini juga banyak terjadi. Realita baik selalu juga bersanding dengan yang buruk, tergantung kita memilihnya. Walaupun godaan menuju buruk mesti selalu ada (syetan ngga pernah diem), tetapi Insya Allah nurani akan selalu setia membisikkan kebaikan.

Secara pribadi, aku ngga pernah mencoba mengubur masa lalu termasuk dengan 'mereka2' ini, apakah kenangan baik ato buruk. Sebab emang ngga bisa di-delete layaknya sebuah file komputer. Bedanya kita mau memberi perhatian lebih atau tidak. Aku lebih memilih mengingat sisi baiknya aja, enaknya jadi lebih terasa so sweeeet ... Ini mungkin sensitif, dan pesenku jangan coba2 bagi temen yang punya istri or suami posesif, bisa jadi runyam masalahnya.

Sisi baik dan buruk selalu bersandingan, mana yang akan kita pilih. Sori sementara pembaca menyudahi membaca tulisan ini, bisa jadi aku masih mereview kenangan masa lalu - sambil senyum2 geli - ketika masih berseragam biru-putih, abu2-putih .... dan ada kalanya saat itu belum mampu mengungkapkan apa yang dirasa dihati, sebab aku tidak pernah merasa menyesal berani mengungkapkan rasa hatiku salah satu dari dua adalah ke ibu anak2ku sekarang. Bagiku saat itu dan sekarang pun ngga penting yang sebenarnya 'mereka' rasakan ke aku. Kenangan itu sendiri lebih penting bagiku setidaknya bisa untuk bahan cerita termasuk kepada istri dan anakku sekarang .... dan semuanya menjadi begitu terasa indah ......

Sunday, October 25, 2009

Momentum Titik Balik

Insya Allah Kamis, 22 Oktober 2009 tempo hari aku telah menemukan momentum titik balik. Sementara belum aku share dulu sebab aku masih menunggu hasilnya sekitar satu dua bulan ke depan.

Kalo semuanya berjalan sesuai rencana, Subhanallah .... Allaahu Akbar ..... Aku masih meyakinkan diri bahwa ini bukan pilihan salah, semuanya tinggal mengikuti skenario yang digariskan oleh-Nya. Tidak ada yang kebetulan, sebab sebelum lahir pun semuanya telah ditulis-Nya. Kalo aku emang dipilih Allah menjadi bagian sejarah itu, sekali lagi aku hanya sanggup mengucap Subhanallah .... Allaahu Akbar ..... sekaligus beristighfar.

Sebuah gabungan teori Power of Giving, Quantum Ikhlas dan entah teori bisnis apa definisinya ... semoga memberi hasil sesuai rencana. Yaa ... Allah aku tetap mohon bimbinganmu untuk tetap bertawadlu kepada-Mu, dan tidak tuulul amal. Sebab Engkau telah menggariskan seberapa bagianku, dan seberapa yang bukan untukku ...

Aku mohon doa semuanya ......

Tuesday, October 6, 2009

Menjadi Anak Muda

Oleh Prie GS (Budayawan)


Tiga persoalan besar yang saya hadapi begitu menginjak remaja ialah : pertama saya yang terlahir sebagai anak keluarga miskin, kedua tubuh saya yang tak bisa tinggi dan ketiga adalah kedudukan saya sebagai rakyat sebuah negara yang penuh korupsi.

Saya akan mulai dari kemiskinan itu dengan kelaparan sebagai akibat fisiknya dan rendah diri sebagai akibat psikologisnya. Karena kelaparan itulah seluruh makanan yang saya makan saat itu, satu di antaranya adalah soto kantin sekolah, terekam rasanya hingga saat ini di lidah saya. Kabar baiknya ialah bahwa soto itu adalah soto terenak di dunia yang sampai saat ini sulit saya mencari gantinya. Kabar buruknya soto itu menjadi enak, pasti bukan cuma karena rasanya, tetapi pasti lebih karena kemiskinan saya. Kantin sekolah itu buka setiap hari, tapi adalah anugerah jika saya sanggup membelinya seminggu sekali. Maka hari ketika nasib baik itu datang, entah karena ditraktir teman, entah sekali waku mendapat uang saku, saya menikmati soto ini dengan rasa takut. Takut jika akhirnya suapan terakhir benar-benar tiba.

Setiap kunyahan sudah saya setarakan dengan masuk surga saking nikmatnya. Maka ketika sendokan terakhir tiba dan mangkok itu benar-benar tandas hingga ke kuahnya, saya seperti terlempar kembali ke neraka. Saya tak mungkin nambah sementara perut dan lidah masih begitu bernafsu. Efeknya sungguh dramatis; rasa itu tak mau hilang baik di lidah dan jiwa saya hingga hari ini. Saya kesulitan membuat penebusan karena seluruh soto di Indonesia yang saya cicipi, tak seenak soto kantin sekolah itu. Benarkah? Tentu tidak. Saat itu pasti karena saya memiliki seluruh modal untuk makan enak : yakni kelaparan dan derita.

Tetapi penderitaan perut itu baru setengah dari permainan, karena setengahnya lagi berisi persoalan yang tak kalah berat : yakni lapar jiwa. Ia bernama perasaan rendah diri yang parah. Cukup hanya dengan melihat orang lain hidup wajar saja, tak perlu mereka harus kaya raya, melainkan sekedar bisa makan normal tiga kali sehari, sudah mendatangkan ketakjuban luar biasa. Bagaimana mungkin ada kehidupan sebaik itu dan bagaimana mungkin ada perut yang bisa diisi makanan begitu tepat waktu.

Jika kepada pihak yang sekadar bisa makan saja kami sudah memiliki ketakjuban maka jangan tanya jika kami sedang memandang sebuah keluarga yang punya radio, punya sepeda dan malah punya warung makan. Tak pasti sebulan sekali keluarga kami bisa membeli sekadar nasi bungkus dari warung itu. Betapa beruntung seseorang yang dilahirkan sebagai anak pemiliknya. Salah seorang di antara anak itu adalah teman sekolah saya. Dan kepadanya saya memandangnya bak anak seorang raja.

Apa yang sedang berlangsung di dalam diri saya saat itu? Kelaparan perut yang telah menjalar menjadi kelaparan mental. Di dalam struktur hidup, saya adalah pihak yang langsung menempatkan diri di landasan. Jika hidup adalah sebuah piramida, saya segera menganggap bagian paling bawah adalah tempat saya. Kebahagiaan pihak lain adalah sebuah panggung pertunjukkan dengan saya cuma sanggup menjadi penontonnya. Saat itu, hidup cuma berisi penderitaan seluruhnya. Begitu penuh saya tertelan oleh perasaan menderita itu hingga melupakan sebuah sudut kemiskinan yang ternyata berisi soal-soal yang saya syukuri di hari ini. Apa itu? Kegemaran memandang segala sesuatu dengan totalitas penghayatan. Inilah kemampuan yang menjadi pilar penting hidup saya di hari ini, yang akan saya ceritakan nanti.Kedua adalah kenyataan saya sebagai laki-laki yang tubuhnya tetap saja sementara teman-teman lain terus meninggi. Fakta ini pada mulanya hanya melengkapi derita saya belaka. Tak peduli sesial apapun hidup orang lain, ia adalah orang yang beruntung jika sedikit saja lebih tinggi dari tubuh saya. Dan puncak penderitaan ini terjadi ketika saya jatuh cinta dan celakanya selalu dengan teman sekolah yang selalu lebih tinggi tubuhnya. Ada yang menyambut cinta saya cuma dengan tertawa ringan dan ada yang sebetulnya siap jadi pacar tapi lama-lama tertekan lalu tidak tahan dan memilih putus sebelum benar-benar nyambung.

Lengkap sudah modal derita saya waktu itu, tetapi janga lupa : lengkap juga modal totalitas saya menghayati sesuatu. Dua penderitaan itu adalah musibah besar sekaligus modal yang sama besarnya untuk membentuk hidup saya di hari ini yang akan saya ceritakan setelah saya melewati derita ketiga: yakni terlahir sebagai rakyat Indonesia.

Saya tumbuh di sebua Orde ketika negara ada dalam kemampuan semu. Pembangunan tumbuh cepat tanpa saya tahu bahwa itulah pembanguan yang dibayai oleh hutang. Dan setengah dari hutang itu ternyata cuma bocor di kantong-kantong pribadi yang membuat negara tumbuh dipenuhi ironi. Negara yang banyak hutang di satu sisi ini adalah juga negara yang hendak mengamankan diri dengan memagari diri dengan membuat tekanan di sekujur lini. Bahkan berimajinasi pun tak bebas lagi. Hasilnya kesenian di sekitar saya berlangsung kering dan setengah hati. Film-film buruk dan daya kreasi mampat sama sekali. Hidup sebagai orang miskin, tanpa tinggi badan memadai dan sebagai rakyat kecil di sebuah negara yang dipenuhi korupsi, adalah derita yang sempurna.

Tetapi di hari ini, tiga modal penderitaan itulah juga yang membuat saya merasa memiliki tiga modal hidup dengan kekuatan setara. Makin besar derita saya, makin besar modal hidup saya. Itulah kenapa Uni Soviet malah memiliki banyak pemenang Nobel di saat politik negara sedang begitu buruknya. Modal derita itu, jika benar arahnya, akan menjadi aset tak terkira. Saya tidak ingin mengatakan bahwa untuk memiliki aset, seseorang harus lebih dulu menderita. Tidak. Saya Cuma ingin menegaskan bahwa tidak ada yang harus ditakuti dari sebuah derita jika seseorang memang harus menghadapainya.

Kini saya merasa, penghayatan saya atas sebuah konteks menjadi baik sekali. Kemampuan membaca keadaan itu, setahu saya lalu menjadi refleks. Jika seorang sedang butuh didengar saya akan menjadi pendengar. Tapi jika mereka sedang memerlukan saya bicara, saya akan bicara. Dari membiasakan diri mendengar dan bicara sesuai konsteksnya ini saja, membuat hidup saya berubah. Begitu sebuah kemampuan membuahkan hasil, saya jadi bergairah mengembangkan kemampuan berikutnya. Begitulah memang watak manusia. Begitu penyulutnya tiba, ia akan terbakar dengan segera karena memang tersedia bahan bakar tak terkira jumlahnya di dalam jiwa kita.

Model derita itulah yang kemudian membakar saya. Dalam periode terbakar ini berubahlah segala peta hidup. Yang saya maksud perubahan itu tidak selalu harus buru-buru dikaitkan bahwa sekarang saya sudah kaya raya, misalnya (walau tanda-tanda untuk itu ada). Kekayaan material itu, bagi pribadi yang sudah terbakar hanya soal hitung-hitungan sederhana. Tetapi saya ingin mendahulukan kekayaan mental. Pada saat itulah, jika Anda mulai ada di tahapan ini, pribadi Anda akan mulai menjadi magnet. Tak perlu menjadi selebriti untuk punya magnet seperti ini, tetapi secara substansial Anda adalah seorang selebriti kehidupan walau wajah Anda tak pernah disorot televisi.

Lalu siapa yang harus mewaspadai derita yang pernah saya alami itu? Terutama adalah anak muda. Adalah keliru jika penderitaan mereka hanya bersumber dari kemiskinan, tinggi badan dan semacamnya. Penderitaan anak muda ternyata jauh melampaui batas-batas itu karena di dalam usia remajalah berlangsung apa yang disebut masa gelap orientasi. Di saat itulah seluruh soal bisa terlihat sebagai derita dan anak-anak muda itu harus diberi tahu, bahwa pandangan itu sungguh sangat menipu.

Semarang 29 Agustus 2009